PENANGANAN KONSERVATIF FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA


PENANGANAN KONSERVATIF FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA

FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA
Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan
Anatomi Vertebra
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5 dan coccygeus 4). Setiap vertebra terdiri dari:
· Corpus / body
· Pedikel
· Pro sessus artikularis superior dan inferior
· Prosessus transversus
· Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui discus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
· Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus flbrosus.
· Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
· Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).
· Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).
· Lig kapsulare, antara proc sup dan interior.
· Lig intertransversale.
· Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
· Lig supra dan interspinosus.
Medula Spinalis
Terletak didalam kanalis vertebralis yang diliputi dan luar oleh duramater, subdural space, arachnoid, subarachnoid dan piamater. Medula spmalis mengeluarkan cabang n spinalis secara segmental dan dorsal (posterior root) dan ventral (anterior root).
Pada cervical keluar 8 cabang walaupun hanya ada 7 vertebra cervikalis. Medula spmalis berakhir sebagai cauda equine pada Th 12 – L1 dan kemudian berobah jadi pilum terminate.
Pembagian Trauma Vertebra
1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:
· Grade I = Simple Compression Fraktur
· Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
· Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
· Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
2. BEDBROCK membagi atas: T
· Trauma pada vertebra seperti compression, extension dan flexion rotation injury
· Trauma medula spinalis seperti : comotio, con-tusio, stretching, gangguan vaskuler, trombus dan hematoma
3. E. SHANNON STAUPER membagi:
· Extension injury
· simple flexion injury dan
· flexion compression fraktur dislocation.
4. HOLDS WORTH membagi alas taruma:
Fleksi, rotasi fleksi, rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)
5. Pembagian Umum:
a. Fraktur Stabil
· Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
· Burst fraktur
· Extension
b. Fraktur tak stabil
· Dislokasi
· Fraktur dislokasi
· Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.
Perawatan
Jika faktur stabil (kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh.. Yang menjadi masalah bila disertai dengan kelainan neorologis.
I. Fase Akut (0-6 minggu)
1. Live saving dan kontrol vital sign
2. Perawatan trauma penyerta
Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
Perawatan trauma lainnya.
3. Fraktur/Lesi pada vertebra
a. Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi.
b. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Kalau dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
· laminektomi
· fiksasi interna dengan kawat atau plate
· anterior fusion atau post spinal fusion
c. Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai ripe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran.
Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
· Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
· Manuver crede
· Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
· Gravitasi/ mengubah posisi
d. Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sening ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.
II. Fase Sub Akut (6-12 minggu)
Fraktur perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.
III. Fase berdikari (3-6 bulan)
Yang banyak berperan disini adalah pekerja sosial seperti:
1.      mempersiapkan rumah beserta isinya pada penderita.
2.      Mengadakan alat-alat pembantu
3.      Mempersiapkan pekerjaan tangannya. Siapapun yang mengelola penderita ini harus dapat:
l  Mengembalikan spinal augment
l  Stabilitas dan tulang belakang
l  Mengusahakan agar penderita mencapai kehidupan normal
l  Mencegah komplikasi.
Fisioterapi
I. Stadium Akut
1. Breathing exercise yang adequate
2. Mencegah kontraktur
3. Melatih otot yang lemah
II. Stadium Sub Akut
Penderita boleh duduk pada kursi roda
III. Berdikari
IV. Follow up
V. Occupational therapy
PENATALAKSANAAN TRAUMA VERTEBRA CERVICAL
Spine Instability
Pada dasarnya tulang belakang mempunyai 3 tulang (kolona vertikal) yaitu 1 (satu) kolona anterior yang terdiri korpus dan diskus dari atas sampai kebawah. Dua kolona posterior (kanan & kiri) yang terdiri dari rangkaian sendi (facet joint) dan atas kebawah. Tulang belakang yang demikian dapat diumpamakan sebagai suatu gedung bertingkat dengan 3 tiang utama (1 di depan 2 di belakang) dengan masing-masing diberi koefisien 1. Sedangkan lantainya terdiri dan pedikel kiri dan kanan, lamina proc. spinosus, dan proc. transversum dengan nilai koefisien antara 0,25 dan 0,5 Jadi bila koefisien instability 2 dalam arti kolona vertikal putus >2, maka dikatakan tulang belakang tidak stabil.

Diagnosis dan Management
Semua yang dicurigai fraktur vertebrate cervical harus dirawat sebagai cervical spinal injury sampai terbukti tidak ada.
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sening karena “wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
· Dislokasi feset >50%
· Loss of paralelisine dan feset.
· Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
· ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
· Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan koposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.
2. Penanganan Ceders Servikal dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI CACAT TULANG BELAKANG
Cacat vertebra dapat disebabkan oleh penyakit dengan variasi yang sangat luas mulai dan penyakit kongenital sampai idiopatic. Sering kelainan vertebra disertai dengan adanya neorologi defisit. Deformitas tulang belakang ini bervariasi pula yang mulai dan tanpa gejala sampai ada gejala yang sangat berat berupa kelumpuhan.
Hubungan sumsum tulang belakang dengan vertebra adalah:
1. Kelainan neorologis dapat menimbulkan deformitas belakang misalnya: scollosis paralitik.
2. Deformitas tulang belakang dapat menimbulkan kelainan neorologis, misalnya: spinal stenosis, diastematomella, kyphoscollosis yar berat.
3. Beberapa penyakit dapat menimbulkan keduanya, yaitu deformitas tulang belakang dengan kelainan syarafmisalnya: Pott paraplegia, Metastase tumor dengan kompresi fraktur
4. Koreksi deformitas tulang belakang dapat menimbulkan komplikasi saraf misalnya instrumentalia harington.
Sifat Deformitas
· Scoliosis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
· Kyposis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
· Gibbus: kyposis yang pendek dengan sudut yang tajam.
· Kelainan setempat yang bervaniasi
Pada koreksi cacat tulang belakang muncul 3 problem:
1. Penyebab deformitas (infeksi, neoplasms, metabolik, dll)
2. Deformitas sediri
3. Akibat deformitas itu sendiri pada organ sekitamya:
· Defisit neorologis : paraflegia dan tetraplegia.
· Ganguan fungsi paru-paru pada skollosis
· Gangguan tr. Urinarius.
Karena itu terapi diarahkan pada:
1. pengobatan terhadap penyabab deformitas.
2. koreksi dan rekonstruksi deformitas (fiksasi yang kuat)
3. rehabilitasi.
Tujuan koreksi:
Meningkatkan, memperbaiki atau mengembalikan anatominya semaksimal mungkin dalam batas toleransi jaringan lunak disekitar tulang belakang, terutama medula spinalis. Koreksi kadang-kadang tidak perlu harus sampai 100%.
Kontra indikasi Operasi
Keadaan umum penderita jelek
Diagnosis Banding
Fraktur patologis
Pemeriksaan Penunjang
Radilogis, laboratorium






TROCHLEAR NERVE PALSY

TROCHLEAR NERVE PALSY

ANATOMI
Nervus kranialis IV adalah unik dimana ia keluar dari batang otak bagian dorsal dan menyilang ke sisi lain sebelum sebelum mengelilingi otak sewaktu menuju sinus cavernous. Keadaan anatomis ini rentan terhadap trauma dimana kekuatannya dibawa untuk dibebankan ke bagian dorsal otak tengah. Keadaan ini biasanya terjadi pada seting trauma yang sangat parah dimana batang otak terdorong kebawah dan terayun ke belakang oleh pergeseran mendadak dari sdtruktur-struktur supratentorial. Jalur saraf kranialis IV pada ruang subarachnoid relatif terlindung dari lesi kompresi oleh sudut bebas tentorium yang berdekatan. Didalam sinus cavernous, saraf kranialis IV dapat ditemukan pada lapisan dalam dinding lateral dibawah saraf kranialis III Saraf kranialis IV memasuki orbita melalui fisura orbitalis superior diatas saraf kranialis III namun diluar dari annulus Zinn. Saraf ini berada di superior orbita, menyilang muskulus rektus superior, dan mempersarafi muskulus oblikus superior.

PATOLOGI
Penyebab dari cedera atau lesi yang tersering adalah cedera traumatik. pada trauma kepala tumpul, yang menyebabkan cedera kepala tertutup, kesemua dari tiga saraf okulomotor dapat terkena baik secara perifer maupun sentral, primer maupun sekunder akibat edema dan herniasi.
Deviasi pada mata biasanya terlihat pada tahap awal dari cedera otak, meskipun biasanya sementara. Insidensinya dilaporkan mencapai 3% sampai 7% dari keseluruhan cedera kepala. Trauma cerebri sering mempengaruhi N III, terutama pada anak-anak. Muskulus rektus superior sepertiya yang paling parah terlibat pada trauma tumpul. Trauma tumpul dapat juga merusak spichter pupil secara langsung atau melalui iskhemia, menyebabkan midriasis, respon terhadap cahaya yang buruk, dan gangguan akomodasi. N IV agak jarang terkena namun bisa terkena pada cedera kepala sedang.
N VI memiliki jalur intrakranial terpanjang dari seluruh saraf kranialiss; oleh karenanya cukup rentan terhadap cedera. Lesi Bilateral terjadi dalam banyak kasus; seringkali, cederanya diakrenakan peregangan saraf setelah benturan frontal.
Ophthalmoplegia sebagai akibat sekunder dari fraktur orbita, yang menyerang terutama CN II, III, IV, dan VI; fraktur dapat juga menyebabkan gangguan sensoris dengan rusaknya divisi ophthalmic dari N V. Ophthalmoplegia sebagai akibat sejunder dari fraktur basis kranii yang melibatkan sinus cavernous dapat menyerang semua saraf okulomotor.
Lesi saraf okulomotor harus dibedakan dengan pergeseran orbita yang terjadi pada cedera fraktur hantaman pada orbita. Terperangkapnya muskulus rektus inferior dapat menyebabkan restriksi dalam memandang ke atas. Trauma yang sudah lama atau ophthalmoplegia kronik progresif juga membatasi jangkauan gerak bola mata akibat pemendekan atau fibrosis otot-otot okuler. Penyebab spesifik ini dapat diketahui atau disingkirkan dengan pemeriksaan “forced duction”, yang menggerakkan bola mata secara mekanis dan, oleh karenanya, mengevaluasi jangkauan pergerakan secara pasif.
Luka tembak tembus dapat mengenai saraf-saraf okulomotor sebagaimana hal nya denan N II. Cedera pada spinal servikal bagian atas dapat melibatkan N VI, dan juga N IX, X, XI, dan terutama XII.
Lesi nontrumatik termasuk penyakit peradangan sinus cavernous (Tolosa-Hunt syndrome), yang dapat melibatkan semua saraf kranialis oklomotor dan cabang 1 dan 2 dari N V (Figure 7-17). Penyebab lesi yang lain adalah septic thrombosis pada sinus cavernous. Pada iskemik nuropati diabetika, N III dan VI adalah yang paling sering terkena. Seringkali hanya satu saraf yang tidak terkena.
Pada hipertensi, fasikulus N VI dapat mengalami infark dan timbul sebaai suatu lesi tunggal saraf kranialis. Peradangan dan fibrosis terlihat lebih sering pada thyroid ophthalmopathy, menyebabkan vertical diplopia karena keterlibatan asimetris otot-otot dengan predileksi muskilus rektus inferior atau superior. Suatu myositis pada m. obliq inferior sering terjadi. Ophthalmoplegia progresif kronis yang dikenal dengan Graefe disease. Pada myasthenia gravis, keterlibatan awal terlihat pada rektus medial dan levator palpebrae, monocular ataupun binocular.


Penebab lain yang agak jarang dari ophthalmoplegia adalah Wernike’s encephalopathy, aneurisma atau thrombosis karotis interna, Paget’s disease orbita, dan Guillain-Barré syndrome. Telah dilaporkan bahwa selama anestesi gigi terkadang terjadi paralysis otot-otot okuler pada injeksi anestesi kedalam arteri gigi superior maupun inferior. Obat anestesi dibawa melalui arteri maxillaris, arteri meningea media, arteri lakrimalis, dan akhirnya menuju arteri ophthalmicus. Sebagai komplikasi paska operasi setelah operasi ataupun radioterapi, neuromyotonia okuler dapat terjadi. Insidensinya diperkirakan 0.25% setelah anestesi spinal.
Obat-obatan atau racun seperti phenytoin atau Phenobarbital dapat menyebabkan gangguan konvergensi dan reflek akomodasi. Timbal dapat menyebabkan paralysis muskulus rektus lateralis, yang berkembangn dengan cepat; ophthalmoplegia internal dapat terjadi. Keracunan Metil chlorida dan sodium fluoride dapat menyerupai botulismus.

Sindroma yang melibatkan N IV
Berikt adalah sindroma yang melibatkan saraf IV
o Millard-Gubler syndrome: kelemahan wajah Ipsilateral dan hemiplegia kontralateral, dalam banyak kasus juga melibatkan N VI, menyebabkan suatu strabismus internal. Lesinya terletak di pons.
o Wernicke’s syndrome: kelumpuhan Ocularmotor karena keterlibatan nukleus saraf kranial III atau IV. Ptosis dan perubahan pupil sering ditemukan, karena keterlibatan nucleus red. Neuritis optik, perdarahan retina, ataxic gait, dan kelemahan otot dapat juga terjadi.
o Möbius’ syndrome: Ocular palsy sebagai tambahan dari facial palsy.

TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari lesi saraf okulomotor asalah sebagai berikut
o Diplopia merupakan keluhan tersering dikaitkan dengan lesi saraf okulomotor. Biasanya lebih berat pada arah tot yang lemah. Pada posisi dimana bayangan yang tidak menyatu memiliki pemisahan yang terjauh, bayangan yang paling perifer biasnya berasal dari mata yang mobilitasnya paling terganggu.
o Argyll Robertson pupil miosis dengan gangguan reflek cahaya dan reflek ciliospinal, dengan akomodasi yang tidak terganggu. Differential diagnosis antara lain neurosyphilis, multiple sclerosis, diabetes mellitus, pineal tumor, Wernicke-Korsakoff’s syndrome, dan ensefalitis otak tengah.
o Adie’s pupil (myotonic pupil) sebagai bagian dari Holmes-Adie syndrome. Adalah suatu kondisi pada wanita muda, seringkali berkaitan dengan reflek tendon dalam. Adalah penting untuk mengenali sindroma ini dan menghilangkan pemeriksaan yang tidak perlu.
o Pseudo-Graefe’s syndrome dikarenakan persarafan aberan. Paling sering diamai terjadi setelah lesi pada N III dan VI,
Lesi terisolasi pada N IV jarang terjadi. nervus trochlear dapat terlibat dalam, cedera kepala bahkan dalam trauma yang ringan. Lesi lainnya terjadi terutama berhubungan dengan lesi oculomotor lainnya. Lesi sempurna pada N IV menyebabkan bola mata berputar kedalam dan keluar. Horner’s syndrome dapat muncul jika cederanya dekat dengan serabut simpatis. Tanda dan gejala dari lesi N IV antara lain
o Kelemahan atau paralisis m. obliqus superior, dan
o vertical diplopia, terutama dalam memandang kebawah dan kedalam. Kepela akan miring kea rah yang berlawanan untuk mengkompensasi diplopia. Ini adalah suatu tanda yang khas.


PEMERIKSAAN
Pemeriksaan klinis mengamati pergerakan mata dengan meminta pasien mengikuti suatu rangsangan ringan. Pandangan spontan volunteer maupun reflek tanpa rangsang cahaya juga harus diperiksa. Jika terjadi diplopia, harus ditentukan apakah itu merupakan diplopia monocular ataukah binocular. Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan pemeriksaan kelopak mata; periksa akan adanya ptosis, bagian atas, bawah, ata keduanya. Ukuran pupil selanjutnya harus diperiksa (normalnya 2–6 mm pada cahayanya biasa) dan regularitas (anisocor mencapai 30% adalah normal). Respon terhadap rangsang visual dan akomodasi harus dilakukan. Lebih jauh lagi, pemeriksaan klinis harus menyingkirkan pergerakan abnormal seperti nystagmus. Penting untuk melihat adanya sindroma salah arah, yang dapat diamati beberpa bulan setelah lesi pada N III, sebagai akibat dari regenerasi aberan. Serabut dari otot-otot okuler dapar berregenerasi secara aberan di levator palpebrae, menyebabkan suatu pseudo-von Graefe’s sign (pengangkatan palpebra pada saat hendak melihat kebawah atau kedipan palpebra saat mengunyah). Penting untuk melihat keterlibatan bilateral karena tidak jarang terjadi pada lesi N IV dan VI. Uji mengedikkan kepala menunjukkan suatu lesi N IV. Pengamatan derajat diplopia terbesar pada saat melihat kebawah, dan ini menyebabkan kedikkan kepala kompensatoris ke sisi yang berlawanan.
Pada pemeriksaan harus menyertakan pemeriksaan yang cermat terhadap pandangan untuk menyingkirkan kelumpuhan pandangan konjugasi atau diskonjugasi. Lower motor neuron mengendalikan otot-otot; upper motor neuron menegndalikanj pergerakan dan pandangan. Pandangan harus lebih jauh lagi dievaluasi dengan mengamati pergerakan mata otomatis maupun direncanakan. Penting untuk mencariu adanya defisit saccade. Ini dapat diukur dengan meminta pasien melihat dengan cepat dari satu objek ke objek yang lain. Objek penguji harus diletakkan dalam jarak terpisah 6 inci. Dan berjarak 15 inci dari pasien. Cedera otak ringan dapat menyebabkan aberrant saccades dan oscillasi. Pencitraan CT scans dan MRI scan berguna terutama ketika diplopia tertunda terjadi. P spontan terjadi dalam 9 sampai 12 bulan tidak jarang terjadi. Pada ank-anak, pemulihan mencapai 80% atau 90% telah dilaporkan.

Tanda dan Gejala menurut lokasi lesi Saraf Kranialis IV
Nukleus Kelemahan otot obliqus superior kontralateral lesi karena adanya persilangan.
Fascicular Sama seperti nukleus. Dapat juga terjadi Horner’s syndrome.
Subarachnoid Tidak ada
Sinus Cavernosus Paresis oblique superior, dapat juga melibatkan N III and VI dan cabang dari N V.
Fissura Suborbital Mirip seperti lesi pada sinus cavernosus
Orbita Kelemahan otot oblique superior N III dan VI juga terlibat.

PENATALAKSANAAN
Diplopia pada awalnya ditangani dengan membebat mata. Mata yang normal dibebat untuk mendorong ekskursi sepenuhnya dari mata yang terkena dan untuk memperbaiki fungsinya. Amblyopia karena tidak digunakan tidak terjadi pada orang dewasa dan tidak diperlukan penutupan mata bergantian. Namun demikian, pada saat aktivitas kritis mata yang terkena sebaiknya ditutup untuk memberikan performa yang optimal. Jika pasien mampu untuk mensupresi gambaran kedua, penutupan dapat dihentikan. Latihan Pleoptic sebagaimana dengan alat latihan stereoscopic dapat digunakan untuk meningkatkan ekskursi otot (Worth Four Dot flashlight).
Intervensi lainnya yang dianjurkan adalah penggunaan lensa Fresnel untuk mempertahankan pengelihatan binokuler. Jika setelah waktu oobserasi yang lama (9 sampai 12 bulan) dan latihan yang sesuai, tidak didapatka peningkatan yang signifikan, prosedur pembedahan dapat dipertimbangkan untuk alasan fungsional maupun kosmetik. Prosedur pembedahan seringkali menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama untuk trochlear palsy persisten, nakmun kurang memusakan untuk lesi abducens atau oculomotor. Alternatif lain adalah penyuntikan toksin botulinum (botox) pada berlawanan dengan otot ayng lumpuh.
Penelitian terbaru mengajukan bahwa pendekatan terapeutik yang terbaik untuk disfungsi visual adalah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atensi visual, scanning, pengenalan pola, memori visual, dan terutama pengenalan kembali. Untuk mencapai tujuan ini pendekatan terapeutik menerapkan strategi untuk remediating dan menkompensasi defisit kemampuan yang mendasar, seperti pengendalian oculomotor, lapangan pandang, dan tajam pengelihatan. Defisit lapang pandang paling baik dievaluasi dengan menggunakan perimetri otomatis terkomputerisasi. Lapang pandang yang terbatas dapat ditingkatkan dengan latihan dengan mengulang rangsangan intensif dari hepi lapang pandang yang buta. Kompensasi dari defisit lapang pandang dapat juga ditingkatkan dengan latihan. Sebagaimana telah disebutkan diatas, latihan dapat memperbaiki pengendalian okuler. Tajam pengelihatan harus dioptimalisasi dengan lensa korektif dan memperbaiki kondisi penerangan. Pasien selanjutnya diajarkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap defisit dan bagaimana untuk “seaxara pintar mengatasi” dengan latihan berulang dan perencanaan yang baik tehnik-tehnik kompensasi untuk aktivitas pribadi dan akademis.
Diposkan oleh HSI MD di 15:47 0 komentar   
Label: Medicine


ANKYLOSING SPONDYLOSIS

ANKYLOSING SPONDYLOSIS

PENDAHULUAN
Spondylosis (spinal osteoarthritis) adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat menyebabkan hilanganya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Meskipun penuaan adalah penyebab utama, lokasi dan tingkat degenerasi merupakan individual. Proses degeneratif dapat mengenai daerah cervical, thoracal, dan/atau lumbal dari tulang belakang mempengaruhi diskus intervertebralis dan facet joints.

DAERAH YANG TERKENA
Diskus Intervertebralis
Ketika orang menua perubahan biokimiawi tertentu terjadi mempengaruhi jaringan diseluruh tubuh. Pada tulang belakang, struktur dari diskus intervertebralis (anulus fibrosus, lamellae, nucleus pulposus) mungkin mengkompromikannya. Anulus fibrosus tersusun atas 60 atau lebih pita yang konsentris dari serabut collagen yang dinamakan lamellae. Nucleus pulposus iadalah suatu bahan seperti gel didalam diskus intervertebralis yang dibungkus oleh anulus fibrosus. Serabut kolagen membentuk nucleus bersama dengan air, dan proteoglycans.
Efek degeneratif dari penuaan dapat melemahkan struktur dari anulus fibrosus menyebabkan 'bantalan' melebar atau robek. Isi cairan didalam nucleus menurun sesuai dengan usia mempengaruhi kemampuannya untuk melawan efek kompresi (kualitas peredam getaran). Perubahan struktural karena degenerasi dapat mengurangi ketinggian diskus dan meningkatkan resiko herniasi diskus.
Facet Joints (Zygapophyseal Joints)
Sendi facet disebut juga dengan zygapophyseal joints. Masing-masing korpus vertebrae memiliki empat sendi yang bekerja seperti engsel. Ini adalah persendian tulang belakang yang dapat menyebabkan ekstensi, fleksi, dan rotasi. Seperti sendi lainnya, permukaan sendi dari tulang memiliki lapisan yang tersusun dari kartilago. Kartilago adalah jenis jaringan konektif tertentu yang menyediakan permukaan geseran rendah gesekan yang dilubrikasi sendiri. Degenerasi Facet joint degenerasi menyebabkan hilangnya kartilago dan pembentukan osteofit. Perubahan ini dapat menyebabkan hypertrophy atau osteoarthritis, dikenal juga sebagai degenerative joint disease.

Tulang dan Ligamen
Osteofit dapat terbentuk berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang, yang dapat mengurangi aliran darah ke vertebra. Lebih jauh lagi, akhir lempeng dapat kaku-kaku; suatu penebalan/pengerasan tulang dibawah lempeng pertumbuhan.
Ligamen adalah pita dari jaringan ikat yang menghubungkan struktur tulang belakang (vertebrae) dan melindungi terhadap muntahan yang tiak mau rangkai lemah (hyperekstensi). Namun demikian, perubahan degeneratif dapat menyebabkan ligamen kehilangan kekuatannya. Ligamentum flavum (yprimary spinal) dapat menebah dan memburu.

Tulang servikal
Kompleksitas anatomi ini dan pergerakannya yang luas membuat segmen bagian ini rentan terhadap gangguan yang berkaitan dengan dengan perubahan degeneratif. Nyeri leher akibat spondylosis sering terjadi. Nyeri dapat menjalar kebahu atau ke lengan kanan. Ketika suatu osteofit menyebabkan kompresi akar saraf, kelemahan tangan mungkin tidak disadari. Pada kasus yang jarang, osteofit pada dada, dapat menyebabkan kesulitan menelan (dysphagia).

Vertebrae torakalis
Nyeri yang berkaitan dengan penyakit degeneratif seringkali dipicu oleh fleksi kedepan dan hiperekstensi. Pada diskus vertebrae torakalis nyeri dapat disebabkan oleh fleksi - facet pain dengan hiperekstensi.

Vertebrae lumbalis
Spondylosis seringkai mempengaruhi vertebrae lumbalis pada orang diatas usia 40 tahun. Nyeri dan kekakuan badan diperjalanan merupakan keluhan utama. Biasanya mengenai lebih dari 1 vertebrae.
Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar berat badan. Oleh karenanya, ketika tuntutan luar biasa integritas sosial, gejala termasuk nyeri mungkin disertai dengan jalan-jalan. Gerakan merangsang serabut rakyat nyeri pada anulus fibrosus dan facet joints. Duduk dalam waktu yang masih sedikit dan gejala lainnya karena tekanannya pada vertebrae lumbalis. Pergerakan berulang seperti mengangkat dan membungkuk (cth persalinan) dapat meningkatkan nyeri

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh mengungkapkan banyak tentang kesehatan dan keadaan umum pasien. Pemeriksaan termasuk ulasan terhadap riwayat medis dan keluarga pasien. Pemeriksaan laboratorium seperti hitung darah lengkap dan urinalisa seringkali dilakukan.
Pemeriksaan fisik antara lain:
Palpasi untuk menentukan kelainan tulang belakang, daerah yang nyeri tekan, dan spasme otot.
Range of Motion, mengukur tingkatan sampai sejauh mana pasien dapat melakukan gerakan fleksi, ekstensi, miring ke lateral, dan rotasi tulang belakang.
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaaan neurologis memeriksa gejala-gejala pasien termasuk nyeri, kebas, paresthesias, sensasi dan motoris, spasme otot, kelemahan, dan gangguan perut dan kandung kemih. Perhatian khusus terutama pada ekstremitas. Pemeriksaan CT Scan atau MRI mungkin diperlukan jika terdpat bukti disfungsi neurologis.
Pencitraan
Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya tebal diskus vertebral is dan adanya osteofit, namun tidak sejelas CT Scan atau MRI.
CT Scan dapat digunakan untukmengungkap adanya perubahan tulang yang berhubungan dengan spondylosis. Pada MRI mampu memperlihatkan kelainan diskus, ligamen, dan nervus.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan konservatif berhasil dalam 75% dari seluruh waktu. Beberapa pasien mungkin menyangka karena kondisi mereka diberi nama degeneratif mereka akan berakhir di kursi roda suatu waktu nanti. Ini sebetulnya jarang terjadi. Banyak kasus dimanan nyeri dan gejala lainnya dapat diobati dengan berhasil tanpa memerlukan pembedahan.
Selama fase akut, obat anti inflamasi, analgesik, dan pelemah otot dapat diberikan untuk jangka waktu yang pendek. Daerah yang terkena mungkin diimobilisasi. Penyangga servikal lunak dapat digunakan untuk membatasi pergerakan dan mengurangi nyeri. Orthotik lumbal mungkin mengurangi keluaran lumbal dengan menstabilisasi vertebrae lumbalis. Fisioterapi, terapi panas, perangsangan listrik, dan modalitas lainnya dapat digabungkan untuk merencanakan pengendalian spasme otot dan nyeri.
Pembedahan
Terkadang pembedahan diperlukan dalam pengobatan spondylosis atau spinal osteoarthritis. Hal ini biasanya dilakukan jika pengobatan konservatif telah gagal.
Jika terdapat defisit neuroilogis, prosedur pembedahan tertentu dapat dipertimbangkan. Namun demikian, sebelum merekomendasikan pembedahan, perlu diperhatikan usia pasien, gaya hidup, pekerjaan, dan jumlah keterlibatan vertebrae.

PEMULIHAN
Anjuran bagi pasien :
• Minum obat sesuai resep. Laporkan segera jika terjadi efek samping.
• Lakukan program latihan dirumah yang biasanya diberikan oleh ahli fisioterapi.
• Hindari mengangkat benda yang berat dan segala aktivitas yang memperberat nyeri atau gejala lainnya.
• Usahakan berat badan mendekati ideal.
• Berhenti merokok.



DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.emedicine.com/neuro/topic564.htm
2. http://www.emedicine.com/med/topic2901.htm
3. http://www.healiohealth.com/
4. http://www.aans.org/education/journal/neurosurgical/june04/16-6-nsf-toc.asp
Diposkan oleh HSI MD di 15:41 2 komentar   
Label: Medicin
Fraktur Kompresi Vertebrata
Fraktur ini menyebabkan sakit punggung yang merupakan gejala osteoporosis yang paling sering dijumpai. Gejala yang mungkin terjadi paling awal adalah nyeri akut pada bagian tengah sampai bagian bawah vertebra toraksika selama aktifitas harian rutin.
Focus pada perawatan fraktur kompresi akut ini adalah mengurangi gejala sesegera mungkin dengan bedrest pada posisi apapun untuk memberikan kenyamanan maksimum pada klien. Relaksan untuk otot seperti panas dan analgesic juga dapat digunakan bila ada indikasi, karena penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur seperti ini.
Setelah nyeri berkurang, segerakan klien untuk mencoba bangun dari tempat tidur secara perlahan dan dengan dibantu oleh perawat. Latihan dengan bantuan ini diharapkan dapat memperbaiki deformitas postural dan dapat meningkatkan tonus otot. Selain itu klien juga harus diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung dengan menghindari gerakan berputar atau pergerakan yang kuat atau membungkuk secara mendadak. Tindakan yang berhubungan dengan cara mengangkat dan membawa barang-barang juga perlu dijelaskan.


Penatalaksanaan
Perawat harus mewaspadai faktor-faktor praoperasi dan pascaoperasi yang jika tidak dikenali dapat menjadi faktor penentu yang berdampak kurang baik terhadap klien.

Praoperasi
Perawat harus mengajarkan klien untuk melatih kaki yang tidak mengalami cidera dan kedua lengannya. Selain itu sebelum dilakukan operasi klien harus diajrakna menggunakan trapeze yang dipasangkan di atas tempat tidur dan di sisi pengaman tempa tidur yang berfungsi untuk membantunya dalam mengubah posisi, klien juga perlu mempraktikan bagaimana cara bangun dari tempat tidur dan pindah ke kursi.
Pascaoperasi
Perawat memantau tanda vital serta memantau asupan dan keluaran cairan, mengawasi aktivitas pernapasan, seperti napas dalam dan batuk, memberikan pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri, dan mengobservasi balutan luka terhadap tanda-tanda infeksi dan perdarahan. Sesudah dan sebelum reduksi fraktur, akan selalu ada resiko mengalami gangguan sirkulasi, sensasi, dan gerakan. Tungkai klien tetap diangkat untuk menghindari edema. Bantal pasir dapat sangat membantu untuk mempertahankan agar tungkai tidak mengalami rotasi eksterna. Untuk menurunkan kebutuhan akan penggunaan narkotika dapat menggunakan transcutaneus electrical nerve stimulator (TENS).
Untuk mencegah dislokasi prosthesis, perawat harus senantiasa menggunakan 3 bantal diantara tungkai klien ketika mengganti posisi, pertahankan bidai abductor tungkai pada klien kecuali pada saat mandi, hindari mengganti posisi klien ke sisi yang mengalami fraktur. Menahan benda/beban yang berat pada ekstremitas yang terkena fraktur tidak dapat diizinkan kecuali telah mendapatkan hasil dari bagian radiologi yang menyatakan adanya tanda-tanda penyembuhan yang adekuat, umumnya pada waktu 3 sampai 5 bulan.
Referensi:
Stanley, M. dan Patricia, G. B., (2002). Gerontological Nursing: A health Promotion/Protection Approach, 2nd ed.Philadelphia: F.A. Davis Company
Holbrook, TL: Specific musculoskeletal conditions. In Holbrook, TL, et al (eds): The Frequency of Occurrence, Impact and cost of Selected Musculosceletal Conditions in the United States. American Academy of Orthopedic Surgeons, Chicago, 1984

Fraktur Kompresi Vertebrata
Fraktur ini menyebabkan sakit punggung yang merupakan gejala osteoporosis yang paling sering dijumpai. Gejala yang mungkin terjadi paling awal adalah nyeri akut pada bagian tengah sampai bagian bawah vertebra toraksika selama aktifitas harian rutin.
Focus pada perawatan fraktur kompresi akut ini adalah mengurangi gejala sesegera mungkin dengan bedrest pada posisi apapun untuk memberikan kenyamanan maksimum pada klien. Relaksan untuk otot seperti panas dan analgesic juga dapat digunakan bila ada indikasi, karena penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur seperti ini.
Setelah nyeri berkurang, segerakan klien untuk mencoba bangun dari tempat tidur secara perlahan dan dengan dibantu oleh perawat. Latihan dengan bantuan ini diharapkan dapat memperbaiki deformitas postural dan dapat meningkatkan tonus otot. Selain itu klien juga harus diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung dengan menghindari gerakan berputar atau pergerakan yang kuat atau membungkuk secara mendadak. Tindakan yang berhubungan dengan cara mengangkat dan membawa barang-barang juga perlu dijelaskan.

Patah tulang kompresi (patah tulang karena penekanan).
Merupakan akibat dari tenaga yang menggerakkan sebuah tulang melawan tulang lainnya atau tenaga yang menekan melawan panjangnya tulang.
Sering terjadi pada wanita lanjut usia yang tulang belakangnya menjadi rapuh karena osteoporosis.

.
Penyebab
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh.Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih besar daripada kekuatan tulang.
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh:
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
- Usia penderita
- Kelenturan tulang
- Jenis tulang.
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena oste
Porosis atau tumor bisa mengalami patah tulang
Gejala
 Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata.
Nyeri bisa sangat hebat dan biasanya makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang terkena digerakkan.
Menyentuh daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri.
Alat gerak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat menggerakkan lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan tangannya.Darah bisa merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang cukup banyak) dan masuk kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat cedera.
Diagnosa
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang.Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan.Jika tulang mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan.
0 Responses